17xj

Senin, 08 Agustus 2011

Derajat Hadits Fadhilah Surat Yasin


MUQADDIMAH
Kebanyakan kaum muslimin membiasakan membaca surat Yasin, baik pada malam Jum’at, ketika mengawali atau menutup majlis ta’lim, ketika ada atau setelah kematian dan pada acara-acara lain yang mereka anggap penting. Saking seringnya surat Yasin dijadikan bacaan di berbagai pertemuan dan kesempatan, sehingga mengesankan, Al-Qur’an itu hanyalah berisi surat Yasin saja. Dan kebanyakan orang membacanya memang karena tergiur oleh fadhilah atau keutamaan surat Yasin dari hadits-hadits yang banyak mereka dengar, atau menurut keterangan dari guru mereka.
Al-Qur’an yang di wahyukan Allah adalah terdiri dari 30 juz. Semua surat dari Al-Fatihah sampai An-Nas, jelas memiliki keutamaan yang setiap umat Islam wajib mengamalkannya. Oleh karena itu sangat dianjurkan agar umat Islam senantiasa membaca Al-Qur’an. Dan kalau sanggup hendaknya menghatamkan Al-Qur’an setiap pekan sekali, atau sepuluh hari sekali, atau dua puluh hari sekali atau khatam setiap bulan sekali. (Hadist Riwayat Bukhari, Muslim dan lainnya).
Sebelum melanjutkan pembahasan, yang perlu dicamkan dan diingat dari tulisan ini, adalah dengan membahas masalah ini bukan berarti penulis melarang atau mengharamkan membaca surat Yasin.
Sebagaimana surat-surat Al-Qur’an yang lain, surat Yasin juga harus kita baca. Akan tetapi di sini penulis hanya ingin menjelaskan kesalahan mereka yang menyandarkan tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, untuk menegaskan bahwa tidak ada tauladan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Yasin setiap malam Jum’at, setiap memulai atau menutup majlis ilmu, ketika dan setelah kematian dan lain-lain.
Mudah-mudahan keterangan berikut ini tidak membuat patah semangat, tetapi malah memotivasi untuk membaca dan menghafalkan seluruh isi Al-Qur’an serta mengamalkannya.
KELEMAHAN HADITS-HADITS TENTANG FADHILAH SURAT YASIN
Kebanyakan umat Islam membaca surat Yasin karena -sebagaimana dikemukakan di atas- fadhilah dan ganjaran yang disediakan bagi orang yang membacanya. Tetapi, setelah penulis melakukan kajian dan penelitian tentang hadits-hadits yang menerangkan fadhilah surat Yasin, penulis dapati Semuanya Adalah Lemah.
Perlu ditegaskan di sini, jika telah tegak hujjah dan dalil maka kita tidak boleh berdusta atas nama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebab ancamannya adalah Neraka. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan lainnya).
HADITS DHA’IF DAN MAUDHU’
Adapun hadits-hadits yang semuanya dha’if (lemah) dan atau maudhu’ (palsu) yang dijadikan dasar tentang fadhilah surat Yasin diantaranya adalah sebagai berikut :
Hadist 1
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin dalam suatu malam, maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya dan siapa yang membaca surat Ad-Dukhan pada malam Jum’at maka ketika ia bangun pagi hari diampuni dosanya.” (Ibnul Jauzi, Al-Maudhu’at, 1/247).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Ibnul Jauzi mengatakan, hadits ini dari semua jalannya adalah batil, tidak ada asalnya. Imam Daruquthni berkata: Muhammad bin Zakaria yang ada dalam sanad hadits ini adalah tukang memalsukan hadits. (Periksa: Al-Maudhu’at, Ibnul Jauzi, I/246-247, Mizanul I’tidal III/549, Lisanul Mizan V/168, Al-Fawaidul Majmua’ah hal. 268 No. 944).
Hadits 2
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada malam hari karena mencari keridhaan Allah, niscaya Allah mengampuni dosanya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diriwayatkan oleh Thabrani dalam kitabnya Mu’jamul Ausath dan As-Shaghir dari Abu Hurairah, tetapi dalam sanadnya ada rawi Aghlab bin Tamim. Kata Imam Bukhari, ia munkarul hadits. Kata Ibnu Ma’in, ia tidak ada apa-apanya (tidak kuat). (Periksa: Mizanul I’tidal I:273-274 dan Lisanul Mizan I : 464-465).
Hadits 3
Artinya: “Siapa yang terus menerus membaca surat Yasin pada setiap malam, kemudian ia mati maka ia mati syahid.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dalam Mu’jam Shaghir dari Anas, tetapi dalam sanadnya ada Sa’id bin Musa Al-Azdy, ia seorang pendusta dan dituduh oleh Ibnu Hibban sering memalsukan hadits. (Periksa: Tuhfatudz Dzakirin, hal. 340, Mizanul I’tidal II : 159-160, Lisanul Mizan III : 44-45).
Hadits 4
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin pada permulaan siang (pagi hari) maka akan diluluskan semua hajatnya.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Ia diriwayatkan oleh Ad-Darimi dari jalur Al-Walid bin Syuja’. Atha’ bin Abi Rabah, pembawa hadits ini tidak pernah bertemu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab ia lahir sekitar tahun 24H dan wafat tahun 114H.
(Periksa: Sunan Ad-Darimi 2:457, Misykatul Mashabih, takhrij No. 2177, Mizanul I’tidal III:70 dan Taqribut Tahdzib II:22).
Hadits 5
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an dua kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jamiush Shaghir, No. 5801 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 6
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin satu kali, seolah-olah ia membaca Al-Qur’an sepuluh kali.” (Hadits Riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman).
Keterangan: Hadits ini Palsu.
(Lihat Dha’if Jami’ush Shagir, No. 5798 oleh Syaikh Al-Albani).
Hadits 7
Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu mempunyai hati dan hati (inti) Al-Qur’an itu ialah surat Yasin. Siapa yang membacanya maka Allah akan memberikan pahala bagi bacaannya itu seperti pahala membaca Al-Qur’an sepuluh kali.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. 304 8) dan Ad-Darimi 2:456. Di dalamnya terdapat Muqatil bin Sulaiman. Ayah Ibnu Abi Hatim berkata: Aku mendapati hadits ini di awal kitab yang di susun oleh Muqatil bin Sulaiman. Dan ini adalah hadits batil, tidak ada asalnya. (Periksa: Silsilah Hadits Dha’if no. 169, hal. 202-203). Imam Waqi’ berkata: Ia adalah tukang dusta. Kata Imam Nasa’i: Muqatil bin Sulaiman sering dusta.
(Periksa: Mizanul I’tidal IV:173).
Hadits 8
Artinya: “Siapa yang membaca surat Yasin di pagi hari maka akan dimudahkan (untuknya) urusan hari itu sampai sore. Dan siapa yang membacanya di awal malam (sore hari) maka akan dimudahkan urusannya malam itu sampai pagi.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Hadits ini diriwayatkan Ad-Darimi 2:457 dari jalur Amr bin Zararah. Dalam sanad hadits ini terdapat Syahr bin Hausyab. Kata Ibnu Hajar: Ia banyak memursalkan hadits dan banyak keliru. (Periksa: Taqrib I:355, Mizanul I’tidal II:283).
Hadits 9
Artinya: “Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang akan mati di antara kamu.”
Keterangan: Hadits ini Lemah.
Diantara yang meriwayatkan hadits ini adalah Ibnu Abi Syaibah (4:74 cet. India), Abu Daud No. 3121. Hadits ini lemah karena Abu Utsman, di antara perawi hadits ini adalah seorang yang majhul (tidak diketahui), demikian pula dengan ayahnya. Hadits ini juga mudtharib (goncang sanadnya/tidak jelas).
Hadits 10
Artinya: “Tidak seorang pun akan mati, lalu dibacakan Yasin di sisinya (maksudnya sedang naza’) melainkan Allah akan memudahkan (kematian itu) atasnya.”
Keterangan: Hadits ini Palsu.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Akhbaru Ashbahan I :188. Dalam sanad hadits ini terdapat Marwan bin Salim Al Jazari. Imam Ahmad dan Nasa’i berkata, ia tidak bisa dipercaya. Imam Bukhari, Muslim dan Abu Hatim berkata, ia munkarul hadits. Kata Abu ‘Arubah Al Harrani, ia sering memalsukan hadits. (Periksa: Mizanul I’tidal IV : 90-91).
PENJELASAN
Abdullah bin Mubarak berkata: Aku berat sangka bahwa orang-orang zindiq (yang pura-pura Islam) itulah yang telah membuat riwayat-riwayat itu (hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat tertentu). Dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Semua hadits yang mengatakan, barangsiapa membaca surat ini akan diberikan ganjaran begini dan begitu SEMUA HADITS TENTANG ITU ADALAH PALSU. Sesungguhnya orang-orang yang memalsukan hadits-hadits itu telah mengakuinya sendiri. Mereka berkata, tujuan kami membuat hadits-hadits palsu adalah agar manusia sibuk dengan (membaca surat-surat tertentu dari Al-Qur’an) dan menjauhkan mereka dari isi Al-Qur’an yang lain, juga kitab-kitab selain Al-Qur’an. (Periksa: Al-Manarul Munffish Shahih Wadh-Dha’if, hal. 113-115).
KESIMPULAN
Dengan demikian jelaslah bahwa hadit-hadits tentang fadhilah dan keutamaan surat Yasin, semuanya LEMAH dan PALSU. Oleh karena itu, hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk menyatakan keutamaan surat ini dan surat-surat yang lain, dan tidak bisa pula untuk menetapkan ganjaran atau penghapusan dosa bagi mereka yang membaca surat ini. Memang ada hadits-hadits shahih tentang keutamaan surat Al-Qur’an selain surat Yasin, tetapi tidak menyebut soal pahala. Wallahu A’lam.
***
Penyusun: Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Tafsir Surat Al-Fatihah

 
Keutamaan Surat Al-Fatihah
Pertama: Membaca Al-Fatihah Adalah Rukun Shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (Al Fatihah).” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu)
Dalam sabda yang lain beliau mengatakan yang artinya, “Barangsiapa yang shalat tidak membaca Ummul Qur’an (surat Al Fatihah) maka shalatnya pincang (khidaaj).” (HR. Muslim)
Makna dari khidaaj adalah kurang, sebagaimana dijelaskan dalam hadits tersebut, “Tidak lengkap”. Berdasarkan hadits ini dan hadits sebelumnya para imam seperti imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan para sahabatnya, serta mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum membaca Al Fatihah di dalam shalat adalah wajib, tidak sah shalat tanpanya.
Kedua: Al Fatihah Adalah Surat Paling Agung Dalam Al Quran
Dari Abu Sa’id Rafi’ Ibnul Mu’alla radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Maukah kamu aku ajari sebuah surat paling agung dalam Al Quran sebelum kamu keluar dari masjid nanti?” Maka beliau pun berjalan sembari menggandeng tanganku. Tatkala kami sudah hampir keluar maka aku pun berkata; Wahai Rasulullah, Anda tadi telah bersabda, “Aku akan mengajarimu sebuah surat paling agung dalam Al Quran?” Maka beliau bersabda, “(surat itu adalah) Alhamdulillaahi Rabbil ‘alamiin (surat Al Fatihah), itulah As Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang sering diulang-ulang dalam shalat) serta Al Quran Al ‘Azhim yang dikaruniakan kepadaku.” (HR. Bukhari, dinukil dari Riyadhush Shalihin cet. Darus Salam, hal. 270)
Penjelasan Tentang Bacaan Ta’awwudz dan Basmalah

Makna bacaan Ta’awwudz

أَعُوْذُ بِاللِه مِنَ الشََّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
Artinya: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk.”
Maknanya: “Aku berlindung kepada Allah dari kejelekan godaan syaitan agar dia tidak menimpakan bahaya kepadaku dalam urusan agama maupun duniaku.” Syaitan selalu menempatkan dirinya sebagai musuh bagi kalian. Oleh sebab itu maka jadikanlah diri kalian sebagai musuh baginya. Syaitan bersumpah di hadapan Allah untuk menyesatkan umat manusia. Allah menceritakan sumpah syaitan ini di dalam Al Quran,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُ
“Demi kemuliaan-Mu sungguh aku akan menyesatkan mereka semua, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih (yang diberi anugerah keikhlasan).” (QS. Shaad: 82-83)
Dengan demikian tidak ada yang bisa selamat dari jerat-jerat syaitan kecuali orang-orang yang ikhlas.
Isti’adzah/ta’awwudz (meminta perlindungan) adalah ibadah. Oleh sebab itu ia tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. Karena menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kesyirikan. Orang yang baik tauhidnya akan senantiasa merasa khawatir kalau-kalau dirinya terjerumus dalam kesyirikan. Sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang demikian takut kepada syirik sampai-sampai beliau berdoa kepada Allah,
ً وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الأَصْنَامَ
“Dan jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari penyembahan berhala.” (QS. Ibrahim: 35)
Ini menunjukkan bahwasanya tauhid yang kokoh akan menyisakan kelezatan di dalam hati kaum yang beriman. Yang bisa merasakan kelezatannya hanyalah orang-orang yang benar-benar memahaminya. Syaitan yang berusaha menyesatkan umat manusia ini terdiri dari golongan jin dan manusia. Hal itu sebagaimana disebutkan oleh Allah di dalam ayat yang artinya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نِبِيٍّ عَدُوّاً شَيَاطِينَ الإِنسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوراً
“Dan demikianlah Kami jadikan musuh bagi setiap Nabi yaitu (musuh yang berupa) syaithan dari golongan manusia dan jin. Sebagian mereka mewahyukan kepada sebagian yang lain ucapan-ucapan yang indah untuk memperdaya (manusia).” (QS. Al An’aam: 112) (Diringkas dari Syarhu Ma’aani Suuratil Faatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).

Makna bacaan Basmalah

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Maknanya; “Aku memulai bacaanku ini seraya meminta barokah dengan menyebut seluruh nama Allah.” Meminta barokah kepada Allah artinya meminta tambahan dan peningkatan amal kebaikan dan pahalanya. Barokah adalah milik Allah. Allah memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Jadi barokah bukanlah milik manusia, yang bisa mereka berikan kepada siapa saja yang mereka kehendaki (Syarhu Ma’aani Suratil Fatihah, Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alus Syaikh hafizhahullah).
Allah adalah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi dengan disertai rasa cinta, takut dan harap. Segala bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada-Nya. Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah dua nama Allah di antara sekian banyak Asma’ul Husna yang dimiliki-Nya. Maknanya adalah Allah memiliki kasih sayang yang begitu luas dan agung. Rahmat Allah meliputi segala sesuatu. Akan tetapi Allah hanya melimpahkan rahmat-Nya yang sempurna kepada hamba-hamba yang bertakwa dan mengikuti ajaran para Nabi dan Rasul. Mereka inilah orang-orang yang akan mendapatkan rahmat yang mutlak yaitu rahmat yang akan mengantarkan mereka menuju kebahagiaan abadi. Adapun orang yang tidak bertakwa dan tidak mengikuti ajaran Nabi maka dia akan terhalangi mendapatkan rahmat yang sempurna ini (lihat Taisir Lathifil Mannaan, hal. 19).
Penjelasan Kandungan Surat

Makna Ayat Pertama

الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِ
Artinya: “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.”
Makna Alhamdu adalah pujian kepada Allah karena sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Dan juga karena perbuatan-perbuatanNya yang tidak pernah lepas dari sifat memberikan karunia atau menegakkan keadilan. Perbuatan Allah senantiasa mengandung hikmah yang sempurna. Pujian yang diberikan oleh seorang hamba akan semakin bertambah sempurna apabila diiringi dengan rasa cinta dan ketundukkan dalam dirinya kepada Allah. Karena pujian semata yang tidak disertai dengan rasa cinta dan ketundukkan bukanlah pujian yang sempurna.
Makna dari kata Rabb adalah Murabbi (yang mentarbiyah; pembimbing dan pemelihara). Allahlah Zat yang memelihara seluruh alam dengan berbagai macam bentuk tarbiyah. Allahlah yang menciptakan mereka, memberikan rezeki kepada mereka, memberikan nikmat kepada mereka, baik nikmat lahir maupun batin. Inilah bentuk tarbiyah umum yang meliputi seluruh makhluk, yang baik maupun yang jahat. Adapun tarbiyah yang khusus hanya diberikan Allah kepada para Nabi dan pengikut-pengikut mereka. Di samping tarbiyah yang umum itu Allah juga memberikan kepada mereka tarbiyah yang khusus yaitu dengan membimbing keimanan mereka dan menyempurnakannya. Selain itu, Allah juga menolong mereka dengan menyingkirkan segala macam penghalang dan rintangan yang akan menjauhkan mereka dari kebaikan dan kebahagiaan mereka yang abadi. Allah memberikan kepada mereka berbagai kemudahan dan menjaga mereka dari hal-hal yang dibenci oleh syariat.
Dari sini kita mengetahui betapa besar kebutuhan alam semesta ini kepada Rabbul ‘alamiin karena hanya Dialah yang menguasai itu semua. Allah satu-satunya pengatur, pemberi hidayah dan Allah lah Yang Maha kaya. Oleh sebab itu semua makhluk yang ada di langit dan di bumi ini meminta kepada-Nya. Mereka semua meminta kepada-Nya, baik dengan ucapan lisannya maupun dengan ekspresi dirinya. Kepada-Nya lah mereka mengadu dan meminta tolong di saat-saat genting yang mereka alami (lihat Taisir Lathiifil Mannaan, hal. 20).

Makna Ayat Kedua

الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ
Artinya: “Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.”
Ar-Rahman dan Ar-Rahiim adalah nama Allah. Sebagaimana diyakini oleh Ahlusunnah wal Jama’ah bahwa Allah memiliki nama-nama yang terindah. Allah ta’ala berfirman,
“Milik Allah nama-nama yang terindah, maka berdo’alah kepada Allah dengan menyebutnya.” (QS. Al A’raaf: 180)
Setiap nama Allah mengandung sifat. Oleh sebab itu beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah. Dalam mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah ini kaum muslimin terbagi menjadi 3 golongan yaitu: (1) Musyabbihah, (2) Mu’aththilah dan (3) Ahlusunnah wal Jama’ah.
Musyabbihah adalah orang-orang yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk. Mereka terlalu mengedepankan sisi penetapan nama dan sifat dan mengabaikan sisi penafian keserupaan sehingga terjerumus dalam tasybih (peyerupaan). Adapun Mu’aththilah adalah orang-orang yang menolak nama atau sifat-sifat Allah. Mereka terlalu mengedepankan sisi penafian sehingga terjerumus dalam ta’thil (penolakan). Ahlusunnah berada di tengah-tengah. Mereka mengimani dalil-dalil yang menetapkan nama dan sifat sekaligus mengimani dalil-dalil yang menafikan keserupaan. Sehingga mereka selamat dari tindakan tasybih maupun ta’thil. Oleh sebab itu mereka menyucikan Allah tanpa menolak nama maupun sifat. Mereka menetapkan nama dan sifat tapi tanpa menyerupakannya dengan makhluk. Inilah akidah yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya serta para imam dan pengikut mereka yang setia hingga hari ini. Inilah aqidah yang tersimpan dalam ayat yang mulia yang artinya,
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syuura: 11) (silakan baca Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan juga ‘Aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallahu ta’ala).
Allah Maha Mendengar dan juga Maha Melihat. Akan tetapi pendengaran dan penglihatan Allah tidak sama dengan pendengaran dan penglihatan makhluk. Meskipun namanya sama akan tetapi hakikatnya berbeda. Karena Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna sedangkan makhluk adalah sosok yang penuh dengan kekurangan. Sebagaimana sifat makhluk itu terbatas dan penuh kekurangan karena disandarkan kepada diri makhluk yang diliputi sifat kekurangan. Maka demikian pula sifat Allah itu sempurna karena disandarkan kepada sosok yang sempurna. Sehingga orang yang tidak mau mengimani kandungan hakiki nama-nama dan sifat-sifat Allah sebenarnya telah berani melecehkan dan berbuat lancang kepada Allah. Mereka tidak mengagungkan Allah dengan sebagaimana semestinya. Lalu adakah tindakan jahat yang lebih tercela daripada tindakan menolak kandungan nama dan sifat Allah ataupun menyerupakannya dengan makhluk? Di dalam ayat ini Allah menamai diri-Nya dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim. Di dalamnya terkandung sifat Rahmah (kasih sayang). Akan tetapi kasih sayang Allah tidak serupa persis dengan kasih sayang makhluk.

Makna Ayat Ketiga

مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Artinya: “Yang Menguasai pada hari pembalasan.”
Maalik adalah zat yang memiliki kekuasaan atau penguasa. Penguasa itu berhak untuk memerintah dan melarang orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Dia juga yang berhak untuk mengganjar pahala dan menjatuhkan hukuman kepada mereka. Dialah yang berkuasa untuk mengatur segala sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya menurut kehendaknya sendiri. Bagian awal ayat ini boleh dibaca Maalik (dengan memanjangkan mim) atau Malik (dengan memendekkan mim). Maalik maknanya penguasa atau pemilik. Sedangkan Malik maknanya raja.
Yaumid diin adalah hari kiamat. Disebut sebagai hari pembalasan karena pada saat itu seluruh umat manusia akan menerima balasan amal baik maupun buruk yang mereka kerjakan sewaktu di dunia. Pada hari itulah tampak dengan sangat jelas bagi manusia kemahakuasaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya. Pada saat itu akan tampak sekali kesempurnaan dari sifat adil dan hikmah yang dimiliki Allah. Pada saat itu seluruh raja dan penguasa yang dahulunya berkuasa di alam dunia sudah turun dari jabatannya. Hanya tinggal Allah sajalah yang berkuasa. Pada saat itu semuanya setara, baik rakyat maupun rajanya, budak maupun orang merdeka. Mereka semua tunduk di bawah kemuliaan dan kebesaran-Nya. Mereka semua menantikan pembalasan yang akan diberikan oleh-Nya. Mereka sangat mengharapkan pahala kebaikan dari-Nya. Dan mereka sungguh sangat khawatir terhadap siksa dan hukuman yang akan dijatuhkan oleh-Nya. Oleh karena itu di dalam ayat ini hari pembalasan itu disebutkan secara khusus. Allah adalah penguasa hari pembalasan. Meskipun sebenarnya Allah jugalah penguasa atas seluruh hari yang ada. Allah tidak hanya berkuasa atas hari kiamat atau hari pembalasan saja (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Keempat

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Artinya: “Hanya kepada-Mu lah Kami beribadah dan hanya kepada-Mu lah Kami meminta pertolongan.”
Maknanya: “Kami hanya menujukan ibadah dan isti’anah (permintaan tolong) kepada-Mu.” Di dalam ayat ini objek kalimat yaitu Iyyaaka diletakkan di depan. Padahal asalnya adalah na’buduka yang artinya Kami menyembah-Mu. Dengan mendahulukan objek kalimat yang seharusnya di belakang menunjukkan adanya pembatasan dan pengkhususan. Artinya ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menujukan ibadah kepada selain-Nya. Sehingga makna dari ayat ini adalah, ‘Kami menyembah-Mu dan kami tidak menyembah selain-Mu. Kami meminta tolong kepada-Mu dan kami tidak meminta tolong kepada selain-Mu.
Ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Ibadah bisa berupa perkataan maupun perbuatan. Ibadah itu ada yang tampak dan ada juga yang tersembunyi. Kecintaan dan ridha Allah terhadap sesuatu bisa dilihat dari perintah dan larangan-Nya. Apabila Allah memerintahkan sesuatu maka sesuatu itu dicintai dan diridai-Nya. Dan sebaliknya, apabila Allah melarang sesuatu maka itu berarti Allah tidak cinta dan tidak ridha kepadanya. Dengan demikian ibadah itu luas cakupannya. Di antara bentuk ibadah adalah do’a, berkurban, bersedekah, meminta pertolongan atau perlindungan, dan lain sebagainya. Dari pengertian ini maka isti’anah atau meminta pertolongan juga termasuk cakupan dari istilah ibadah. Lalu apakah alasan atau hikmah di balik penyebutan kata isti’anah sesudah disebutkannya kata ibadah di dalam ayat ini?
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahulah berkata, “Didahulukannya ibadah sebelum isti’anah ini termasuk metode penyebutan sesuatu yang lebih umum sebelum sesuatu yang lebih khusus. Dan juga dalam rangka lebih mengutamakan hak Allah ta’ala di atas hak hamba-Nya….”
Beliau pun berkata, “Mewujudkan ibadah dan isti’anah kepada Allah dengan benar itu merupakan sarana yang akan mengantarkan menuju kebahagiaan yang abadi. Dia adalah sarana menuju keselamatan dari segala bentuk kejelekan. Sehingga tidak ada jalan menuju keselamatan kecuali dengan perantara kedua hal ini. Dan ibadah hanya dianggap benar apabila bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ditujukan hanya untuk mengharapkan wajah Allah (ikhlas). Dengan dua perkara inilah sesuatu bisa dinamakan ibadah. Sedangkan penyebutan kata isti’anah setelah kata ibadah padahal isti’anah itu juga bagian dari ibadah maka sebabnya adalah karena hamba begitu membutuhkan pertolongan dari Allah ta’ala di dalam melaksanakan seluruh ibadahnya. Seandainya dia tidak mendapatkan pertolongan dari Allah maka keinginannya untuk melakukan perkara-perkara yang diperintahkan dan menjauhi hal-hal yang dilarang itu tentu tidak akan bisa tercapai.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Kelima

اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang lurus.”
Maknanya: “Tunjukilah, bimbinglah dan berikanlah taufik kepada kami untuk meniti shirathal mustaqiim yaitu jalan yang lurus.” Jalan lurus itu adalah jalan yang terang dan jelas serta mengantarkan orang yang berjalan di atasnya untuk sampai kepada Allah dan berhasil menggapai surga-Nya. Hakikat jalan lurus (shirathal mustaqiim) adalah memahami kebenaran dan mengamalkannya. Oleh karena itu ya Allah, tunjukilah kami menuju jalan tersebut dan ketika kami berjalan di atasnya. Yang dimaksud dengan hidayah menuju jalan lurus yaitu hidayah supaya bisa memeluk erat-erat agama Islam dan meninggalkan seluruh agama yang lainnya. Adapun hidayah di atas jalan lurus ialah hidayah untuk bisa memahami dan mengamalkan rincian-rincian ajaran Islam. Dengan begitu do’a ini merupakan salah satu do’a yang paling lengkap dan merangkum berbagai macam kebaikan dan manfaat bagi diri seorang hamba. Oleh sebab itulah setiap insan wajib memanjatkan do’a ini di dalam setiap rakaat shalat yang dilakukannya. Tidak lain dan tidak bukan karena memang hamba begitu membutuhkan do’a ini (lihat Taisir Karimir Rahman, hal. 39).

Makna Ayat Keenam

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ
Artinya: “Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat atas mereka.”
Siapakah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah? Di dalam ayat yang lain disebutkan bahwa mereka ini adalah para Nabi, orang-orang yang shiddiq/jujur dan benar, para pejuang Islam yang mati syahid dan orang-orang salih. Termasuk di dalam cakupan ungkapan ‘orang yang diberi nikmat’ ialah setiap orang yang diberi anugerah keimanan kepada Allah ta’ala, mengenal-Nya dengan baik, mengetahui apa saja yang dicintai-Nya, mengerti apa saja yang dimurkai-Nya, selain itu dia juga mendapatkan taufik untuk melakukan hal-hal yang dicintai tersebut dan meninggalkan hal-hal yang membuat Allah murka. Jalan inilah yang akan mengantarkan hamba menggapai keridhaan Allah ta’ala. Inilah jalan Islam. Islam yang ditegakkan di atas landasan iman, ilmu, amal dan disertai dengan menjauhi perbuatan-perbuatan syirik dan kemaksiatan. Sehingga dengan ayat ini kita kembali tersadar bahwa Islam yang kita peluk selama ini merupakan anugerah nikmat dari Allah ta’ala. Dan untuk bisa menjalani Islam dengan baik maka kita pun sangat membutuhkan sosok teladan yang bisa dijadikan panutan (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 12).

Makna Ayat Ketujuh

غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ
Artinya: “Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat.”
Orang yang dimurkai adalah orang yang sudah mengetahui kebenaran akan tetapi tidak mau mengamalkannya. Contohnya adalah kaum Yahudi dan semacamnya. Sedangkan orang yang tersesat adalah orang yang tidak mengamalkan kebenaran gara-gara kebodohan dan kesesatan mereka. Contohnya adalah orang-orang Nasrani dan semacamnya. Sehingga di dalam ayat ini tersimpan motivasi dan dorongan kepada kita supaya menempuh jalan kaum yang shalih. Ayat ini juga memperingatkan kepada kita untuk menjauhi jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sesat dan menyimpang (lihat Aisarut Tafaasir, hal. 13 dan Taisir Karimir Rahman hal. 39).
Kesimpulan Isi Surat
Surat yang demikian ringkas ini sesungguhnya telah merangkum berbagai pelajaran yang tidak terangkum secara terpadu di dalam surat-surat yang lain di dalam Al Quran. Surat ini mengandung intisari ketiga macam tauhid. Di dalam penggalan ayat Rabbil ‘alamiin terkandung makna tauhid rububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatanNya seperti mencipta, memberi rezeki dan lain sebagainya. Di dalam kata Allah dan Iyyaaka na’budu terkandung makna tauhid uluhiyah. Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam bentuk beribadah hanya kepada-Nya. Demikian juga di dalam penggalan ayat Alhamdu terkandung makna tauhid asma’ wa sifat. Tauhid asma’ wa sifat adalah mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifatNya. Allah telah menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi diri-Nya sendiri. Demikian pula Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Maka kewajiban kita adalah mengikuti Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan sifat-sifat kesempurnaan itu benar-benar dimiliki oleh Allah. Kita mengimani ayat ataupun hadits yang berbicara tentang nama dan sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak maknanya ataupun menyerupakannya dengan sifat makhluk.
Selain itu surat ini juga mencakup intisari masalah kenabian yaitu tersirat dari ayat Ihdinash shirathal mustaqiim. Sebab jalan yang lurus tidak akan bisa ditempuh oleh hamba apabila tidak ada bimbingan wahyu yang dibawa oleh Rasul. Surat ini juga menetapkan bahwasanya amal-amal hamba itu pasti ada balasannya. Hal ini tampak dari ayat Maaliki yaumid diin. Karena pada hari kiamat nanti amal hamba akan dibalas. Dari ayat ini juga bisa ditarik kesimpulan bahwa balasan yang diberikan itu berdasarkan prinsip keadilan, karena makna kata diin adalah balasan dengan adil. Bahkan di balik untaian ayat ini terkandung penetapan takdir. Hamba berbuat di bawah naungan takdir, bukan terjadi secara merdeka di luar takdir Allah ta’ala sebagaimana yang diyakini oleh kaum Qadariyah (penentang takdir). Dan menetapkan bahwasanya hamba memang benar-benar pelaku atas perbuatan-perbuatanNya. Hamba tidaklah dipaksa sebagaimana keyakinan kaum Jabriyah. Bahkan di dalam ayat Ihdinash shirathal mustaqiim itu terdapat intisari bantahan kepada seluruh ahli bid’ah dan penganut ajaran sesat. Karena pada hakikatnya semua pelaku kebid’ahan maupun penganut ajaran sesat itu pasti menyimpang dari jalan yang lurus; yaitu memahami kebenaran dan mengamalkannya. Surat ini juga mengandung makna keharusan untuk mengikhlaskan ketaatan dalam beragama demi Allah ta’ala semata. Ibadah maupun isti’anah, semuanya harus lillaahi ta’aala. Kandungan ini tersimpan di dalam ayat Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (disadur dari Taisir Karimir Rahman, hal. 40).
Allaahu akbar, sungguh menakjubkan isi surat ini. Maka tidak aneh apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai surat paling agung di dalam Al Quran.
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat. Jauhkanlah kami dari jalan orang yang dimurkai dan sesat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Mengabulkan do’a. Wallahu a’lam bish shawaab.
***
Penyusun: Abu Muslih Ari Wahyudi